“Kamu telah mengikuti sunnah orang-orang sebelum kamu sejengkal demi sejengkal, sehasta demi sehasta. Sehingga mereka masuk ke dalam lubang biawak pun kamu tetap mengikuti mereka.” (HR. Bukhari)
Liberalisme kini telah menyelinap dan mewarnai berbagai sendi kehidupan, tidak hanya merasuki sistem ekonomi, hukum dan politik, tapi juga dapat dirasakan dalam aspek budaya yang kian hari makin terasa adanya pergeseran nilai. Salah satu budaya liberal yang begitu kental mewarnai kehidupan masyarakat Indonesia adalah peringatan Hari Kasih Sayang atau lebih akrab dikenal dengan istilah Valentine’s Day.
Hari Kasih Sayang yang kerap kali dirayakan pada pertengahan bulan Februari kini sangat popular di kalangan generasi muda, bahkan telah merebak hingga di wilayah pelosok Indonesia. Terlebih lagi akhir-akhir ini banyak dijumpai jargon-jargon atau iklan-iklan untuk mengekspos dan melestarikan budaya penyembah berhala zaman Romawi kuno ini. Berbagai tempat hiburan mulai dari diskotik, hotel-hotel, organisasi-organisasi remaja, hingga mall, pusat perbelanjaan dan toko-toko kecil pun berlomba-lomba menawarkan acara untuk merayakan Valentine. Kehebohan pun menghiasi halaman-halaman media cetak dan elektronik yang turut larut dalam hingar-bingar ‘pembodohan’ itu. Sehingga tanpa disadari anak muda dan kelompok-kelompok pelajar pun terpengaruh dan dicekoki oleh iklan-iklan Valentine’s Day.
Kemeriahan ini memang sengaja dikemas dengan sebutan yang indah, yakni “Hari Kasih Sayang” yang mendorong orang-orang untuk merayakannya dengan nuansa kasih sayang. Tidak sedikit pun orang menunggu hari ‘spesial’ itu untuk mengungkapkan cinta dan kasih sayangnya kepada orang-orang terdekat mereka khususnya pasangan ‘ilegal’nya. Sungguh ironis apabila orang ramai-ramai ‘terjun’ dalam perayaan Valentine tanpa mengetahui sejarah kelam dan tragedi yang melatarbelakangi history of Valentine’s Day tersebut.
Kampanye Seks Bebas
Hiruk pikuk menyambut Valentine’s Day yang diperingati setiap bulan Februari pada umumnya hanyalah salah satu sarana sekaligus momentum kampanye seks bebas, khususnya di kalangan generasi muda. Tak jauh berbeda dengan bulan Desember lalu ketika Menteri Kesehatan menetapkan Pekan Kondom Nasional yang mengsosialisasikan seks ‘bebas’ yang aman. Memang tak bisa dipungkiri bahwa kehebohan Valentine’s Day pada umumnya sarat dengan pornoaksi. Hal ini bisa dilihat dari laris manisnya penginapan dan tempat-tempat pelesiran yang dipesan dan didatangi oleh pasangan muda-mudi dan pria-wanita dewasa selama moment valentine. Omset penjualan kondom yang melonjak juga menandakan bahwa perayaan Hari Kasih Sayang ini tidak jauh dari aktivitas free sex tersebut. Suasana Valentine’s Day memang didesain erotis, ditambah dengan budaya konsumsi coklat yang mengandung Phenylethylamine dan Seratonin yang disebut-sebut dapat memacu gairah ekstase dan erotis. Bahkan, moment konyol ini dianggap sebagai hari pembuktian cinta dan kasih sayang, sehingga sarat dengan pornoaksi dan desakralisasi keperawanan yang mengatasnamakan cinta.
Liberalisasi Budaya
Perilaku seks bebas yang marak terjadi pada saat Valentine’s Day tentunya dipengaruhi oleh budaya liberal. Proses kemunculan dan menyebarnya budaya liberal di negeri ini bukanlah proses yang berlangsung alami, tetapi merupakan hasil dari proses liberalisasi budaya yang dijalankan secara sistematis dan terorganisir.
Budaya liberal atau budaya bebas itu bukanlah berasal dari nilai-nilai luhur dan religius yang dianut oleh mayoritas penduduk negeri ini. Budaya itu merupakan konspirasi para ‘penjahat’ yang mengusung nilai-nilai liberal kemudian ‘dipaksakan’ masuk ke tengah-tengah masyarakat Indonesia. Liberalisasi budaya juga tidak jauh-jauh dari rekayasa orang-orang ‘jahat’ yang ingin menghancurkan moral generasi muda.
Agenda liberalisasi budaya terhadap Negara-negara mayoritas Muslim tidak lepas dari motif penjajahan. Dengan liberalisasi budaya itu masyarakat umum di negeri ini dan generasi muda pada khususnya akan kehilangan identitasnya lalu meninggalkan keluhuran budaya dan nilai-nilai religius bangsa ini, bahkan dengan bangga mengekor dan menelan bulat-bulat budaya dari luar tanpa mempertimbangkan halal atau haramnya. Hal tersebut telah dijelaskan Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam dalam sabdanya: “Kamu telah mengikuti sunnah orang-orang sebelum kamu sejengkal demi sejengkal, sehasta demi sehasta. Sehingga mereka masuk ke dalam lubang biawak kamu tetap mengikuti mereka (Yahudi dan Nasrani).” (HR. Bukhari dan Muslim).
Liberalisasi budaya tersebut telah dikemas dalam berbagai program berskala internasional yang dikawal oleh PBB dan lembaga-lembaga internasional lainnya. PBB mengeluarkan berbagai konvensi dan kesepakatan internasional terkait dengan isu Hak Asasi Manusia, kesetaraan gender dan lain-lain yang esensinya sama-sama menuntut kebebasan dan kesetaraan laki-laki dan perempuan. Kemudian negara-negara Dunia Ketiga, termasuk negeri-negeri Muslim ‘dipaksa’ meratifikasi semua itu. Maka lahirlah berbagai Undang-Undang yang melegalkan kebebasan, bahkan sosialisasi seks ‘bebas’ yang aman telah dilegitimasi oleh pemerintah di negeri berbudaya ini lewat program kondomisasi. Dan yang paling nampak setiap memasuki bulan Februari adalah adanya kemasan sebuah moment kematian yang turut dirayakan oleh sebagian besar masyarakat Indonesia dengan sebutan Valentine’s Day, bahkan saat ini telah menggiring opini publik dan diyakininya sebagai hari kasih sayang. Liberalisasi budaya telah merebak secara luas di tengah masyarakat Indonesia dan telah menelan banyak korban, di antaranya puluhan ribu orang terkena HIV/AIDS, ratusan gadis belia yang telah melakukan aborsi, jutaan anak-anak muda pecandu narkoba yang hancur masa depannya, ribuan anak-anak terlantar, ratusan wanita yang diperjualbelikan dan dieksploitasi, bahkan kejahatan seksual marak terjadi di mana-mana. Oleh karena itu, untuk menyelamatkan umat dan menjaga keluhuran budaya serta nilai-nilai religius bangsa ini seharusnya setiap masyarakat, khususnya generasi muda kembali pada tatanan kehidupan berdasarkan prinsip suci dan nilai-nilai Islam karena hal tersebut merupakan satu-satunya solusi bagi seluruh problem dan persoalan hidup manusia. Dengan demikian, hendaknya setiap masyarakat mampu memilih dan memilah berbagai pengaruh yang meluncur bebas masuk di Indonesia, begitu pun dengan generasi muda agar tidak latah dan tidak serta merta mengikuti gaya hidup orang-orang luar yang bertentangan dengan nilai-nilai religius bangsa ini. Say No to Valentine!
sumber: http://www.dakwatuna.com/2014/02/11/46147/valentines-day-dan-liberalisasi-budaya/
0 komentar:
Posting Komentar